Hujan mulai turun rintik-rintik. Dingin dan rasa lapar bekerja sama mendesakku mempercepat langkah menuju ke sebuah warung coto di pinggir jalan. Aku memandang sekeliling sebelum masuk. Bangunan warungnya, sangat sederhana, dari anyaman bambu. Di bagian depannya tergantung sebuah spanduk panjang berwarna kuning, mungkin bekas spanduk sebuah partai yang identik dengan warna itu, bertuliskan nama warungnya. Di bawah tulisan nama warung, tertulis pula harga coto permangkuknya, “ HARGA RP.9.000, KETUPAT RP. 500” . Pada tiang depannya terselip karton kecil bertuliskan “ADA”. Aku melangkah masuk dan langsung memesan, “ Campur, Pak, tidak pake hati dan daging ya….” Aku memilih duduk di meja dekat pintu dan dekat dapurnya. Supaya pelayannya tidak usah repot-repot mengantar dan tentu saja supaya tidak lama. Dari belakang kudengar seorang memesan yang membuatku tersenyum,“ Satu, Pak. Hati dan daging.” Dua orang yang masuk kemudian, menarik perhatianku. Salah satunya adala...
Pagi itu, di hari Sabtu, adalah hari libur bagi sebagian warga tapi tidak bagi sebagian warga lain. Matahari pagi menyinari setiap sudut ruangan tak terkecuali sudut tempat sekoloni rayap menetap. Seekor rayap seperti biasa, keluar dari lubang kecilnya. Statusnya sebagai rayap dari kasta pekerja tidak membenarkannya untuk sekedar duduk menunggu makanan. Tidak. Dialah yang ditunggu untuk mencari, mengangkut dan memberi makan rayap-rayap dari kasta prajurit ataupun kasta petelur. Hari ini dia merasa agak aneh. Dia merasa diawasi seseorang. Seharusnya perasaan seperti itu wajar. Setiap rayap yang berada di koloni ini pastilah akan merasakan hal itu. Tentu saja, karena merekalah koloni yang dengan terang-terangan, seterang-terangnya, menampakkan pertanda keberadaan koloni di sudut ruangan ini. Tetapi hari ini perasaannya sangat kuat. Seolah sepasang mata itu tak pernah melepaskan langkahnya sedetik pun. Tajam, penuh benci. Dia menoleh ke arah teman-temannya yang sekasta ...