Skip to main content

Posts

Di sebuah Warung Coto

 Hujan mulai turun rintik-rintik. Dingin dan rasa lapar bekerja sama mendesakku mempercepat langkah menuju ke sebuah warung coto di pinggir jalan. Aku memandang sekeliling sebelum masuk. Bangunan warungnya, sangat sederhana, dari anyaman bambu. Di bagian depannya tergantung sebuah spanduk panjang berwarna kuning, mungkin bekas spanduk sebuah partai yang identik dengan warna itu, bertuliskan nama warungnya. Di bawah tulisan nama warung, tertulis pula harga coto permangkuknya, “ HARGA RP.9.000, KETUPAT RP. 500” . Pada tiang depannya terselip karton kecil bertuliskan “ADA”. Aku melangkah masuk dan langsung memesan, “ Campur, Pak, tidak pake hati dan daging ya….” Aku memilih duduk di meja dekat pintu dan dekat dapurnya. Supaya pelayannya tidak usah repot-repot mengantar dan tentu saja supaya tidak lama. Dari belakang kudengar seorang memesan yang membuatku tersenyum,“ Satu, Pak. Hati dan daging.” Dua orang yang masuk kemudian, menarik perhatianku. Salah satunya adala...
Recent posts

Drama Pembantaian Sebuah Koloni

 Pagi itu, di hari Sabtu, adalah hari libur bagi sebagian warga tapi tidak bagi sebagian warga lain. Matahari pagi menyinari setiap sudut ruangan tak terkecuali sudut tempat sekoloni rayap menetap. Seekor rayap seperti biasa, keluar dari lubang kecilnya. Statusnya sebagai rayap dari kasta pekerja tidak membenarkannya untuk sekedar duduk menunggu makanan. Tidak. Dialah yang ditunggu untuk mencari, mengangkut dan memberi makan rayap-rayap dari kasta prajurit ataupun kasta petelur. Hari ini dia merasa agak aneh. Dia merasa diawasi seseorang. Seharusnya perasaan seperti itu wajar. Setiap rayap yang berada di koloni ini pastilah akan merasakan hal itu. Tentu saja, karena merekalah koloni yang dengan terang-terangan, seterang-terangnya, menampakkan pertanda keberadaan koloni di sudut ruangan ini. Tetapi hari ini perasaannya sangat kuat. Seolah sepasang mata itu tak pernah melepaskan langkahnya sedetik pun. Tajam, penuh benci. Dia menoleh ke arah teman-temannya yang sekasta ...

HUJAN TURUN

 Hujan yang turun mulai deras. Aku membuka jendela membiarkan angin yang menggila di luar juga mengacak-acak udara di kamarku. Tatapanku tertuju pada tetesan hujan yang membentuk garis menitis ke bumi lalu beralih kepada dua orang yang berjalan di bawah satu payung, menjauh dari pandanganku hingga menjadi bayangan. Lalu pikiranku bersenandung, melagukan sebuah cerita. # Seorang anak kecil memakai seragam putih merah berdiri bersandar di pintu sebuah rumah kecil. Tubuhnya merapat ke pintu, berlindung dari terpaan angin yang bercampur rintik air. Tatapannya tertuju ke kebun pisang samping rumah. Seseorang dengan pisau bengkok di tangannya memotong satu pelepah daun pisang. Kaki tuanya bergetar saat berjinjit mencoba meraih daun pisang itu. Pisau bengkok terjatuh setelah mengiris ujung telunjuknya. Seluruh tubuhnya basah. Jari telunjuknya perih. Anak kecil itu masih menunggu ketika dia muncul di hadapannya dengan senyum yang basah. “Tehnya sudah diminum?” anak kecil itu m...

Luka

 “Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari. “ Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu. “Nanti kena infeksi….” “Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.” “Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.” Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….” *** Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain. Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menangani...

Cerita pengejar mimpi

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang. “Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku. Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.  Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak ...