Skip to main content

Luka

 “Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari.


Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu.


“Nanti kena infeksi….”


“Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.”


“Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.”


Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….”

***

Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain.

Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menanganinya dengan baik. Jangan pernah, jika kita tidak bermaksud menyembuhkan. Lebih-lebih, jika hanya untuk tahu seberapa dalam lukanya. Jangan, jika hanya akan memperparah luka tersebut.

***
Nggak usah ke dokter dong, Bu. Nanti kan lukanya sembuh juga, asalkan tidak dikorek.” Anak itu nyeletuk lagi setelah dijanjikan cepat sembuh asalkan lukanya tidak dikorek.


Ibunya diam sejenak. Mulai kehabisan kata-kata dan kehabisan kesabaran. Tapi tampaknya ia seorang ibu yang baik. Dia menghela nafas lalu menjawab lagi.


“Iya…ada luka yang bisa sembuh nggak pake dokter. Dibiarin juga, nanti akan sembuh sendiri. Tapi bisa lamaaa…..sekali,” jawabnya kemudian.


Ibunya menyebut kata ‘lama’ dengan penyebutan suku terakhirnya dibuat panjang. Kepalanya sambil mutar-mutar. Sang anak tergelak. Orang-orang yang ada di dekat mereka ikut tersenyum. Aku pun tak bisa menahan senyum geli. 


“Nah…ada juga luka yang mesti diobati ke dokter. Kalau nggak, bisa infeksi. Kalo infeksi, bisa … bonyok.”


“Bonyok…!?” anaknya membelalak. Sang Ibu tampak menyesal mengeluarkan kata itu. Tapi ia tidak kepikiran kata yang lain lagi untuk mengganti kata itu. 


Anak itu terdiam lalu mengelus-elus lukanya dan meniupnya dengan lembut. “Jangan bonyok, ya ….”

Aku tergelak. Aku benar-benar tak bisa menahan tawa lagi. Aku jadi lupa pada luka di kakiku akibat keserempet motor tadi. Sejurus kemudian, aku meringis lagi. Perih.


Aku kembali terkesan ketika anak itu mulai mengeluh lagi,”Tapi gatal…, Bu,” dan ibu itu kembali menjawab dengan lembut,” Tahan ya, nak. Waktu sakit aja kamu bisa tahan, apalagi sekarang cuman gatal, kan?” 


***

Semua orang pada dasarnya telah diberi kekuatan untuk bisa menahan luka yang dititipkan padanya. Allah telah menakar kekuatan setiap manusiaNYA sebelum DIA memberi cobaan. DIA Maha Tahu dan hitunganNYA tidak akan salah.


***
Seorang suster muncul di pintu memanggil namaku. 


“Ya!” Aku menjawab lalu berdiri menyeret langkah tertatih masuk ke ruang dokter. Saat melewati anak kecil itu, aku menegakkan badanku. Memang lukaku jauh lebih parah dari yang diderita anak itu. Tapi aku lebih besar dan lebih berpengalaman darinya. 


Aku tersenyum saat melewatinya, berusaha menunjukkan bahwa aku orang yang pantas untuk luka yang kuderita sekarang.

***

Comments

Popular posts from this blog

Cerita pengejar mimpi

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang. “Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku. Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.  Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak ...