Skip to main content

HUJAN TURUN

 Hujan yang turun mulai deras. Aku membuka jendela membiarkan angin yang menggila di luar juga mengacak-acak udara di kamarku. Tatapanku tertuju pada tetesan hujan yang membentuk garis menitis ke bumi lalu beralih kepada dua orang yang berjalan di bawah satu payung, menjauh dari pandanganku hingga menjadi bayangan. Lalu pikiranku bersenandung, melagukan sebuah cerita.
#
Seorang anak kecil memakai seragam putih merah berdiri bersandar di pintu sebuah rumah kecil. Tubuhnya merapat ke pintu, berlindung dari terpaan angin yang bercampur rintik air. Tatapannya tertuju ke kebun pisang samping rumah. Seseorang dengan pisau bengkok di tangannya memotong satu pelepah daun pisang. Kaki tuanya bergetar saat berjinjit mencoba meraih daun pisang itu. Pisau bengkok terjatuh setelah mengiris ujung telunjuknya. Seluruh tubuhnya basah. Jari telunjuknya perih.

Anak kecil itu masih menunggu ketika dia muncul di hadapannya dengan senyum yang basah.
“Tehnya sudah diminum?” anak kecil itu mengangguk. Pelan-pelan dibantunya anak itu memegang batang pisang yang telah diiris sehingga mudah untuk dipegang. Anak itu merajuk melihat daun pisangnya. Teman-temannya pasti mengejek. Mereka memakai payung dan ada yang memakai jas hujan lengkap dengan bootnya. Dia bukannya tidak tahu atau tidak mau tahu. Dia tersenyum membujuk dan meraih tangan anaknya, meletakkan daun pisang itu di atas kepalanya.
“Ayo sana, nanti telat.” Anak itu akhirnya mengalah dan berlari kecil. Lupa pada rutinitas yang selalu dilakukannya sebelum pergi, mencium punggung tangannya. Dia tertegun. Kelupaan itu melukai hatinya. Lebih perih dari luka di ujung telunjuknya. Dadanya sesak tapi dia tersenyum. Ditatapnya langkah anak itu menembus hujan.
“Hati-hati, jangan sampai basah!” teriaknya padahal dia sendiri basah kuyup.

Ketika hendak menutup pintu, matanya menatap seorang di ujung jalan berlari di tengah hujan. Ke arahnya. Daun pisang di atas kepalanya berkibar-kibar karena angin. Anak kecil menatapnya dengan senyum yang basah, meraih tangannya dan menciumnya. “Saya lupa, Ma’….” Lalu kembali berlari menembus hujan. Daun pisang masih di atas kepalanya, berkibar-kibar.
Dia tersenyum. Hatinya terasa hangat meski tubuhnya menggigil.
#
Hujan dan angin masih menggila di luar sana. Aku menutup jendela.

Anak kecil itu pasti sudah besar sekarang. Mungkin seumuran denganku. Mungkin dia sudah lupa pada cerita itu. Atau dia mungkin sepertiku sekarang. Menatap hujan dari jendela kamar, dan menikmati kisahnya dengan secangkir teh hangat kesukaannya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita pengejar mimpi

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang. “Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku. Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka.  Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak ...

Luka

 “Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari. “ Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu. “Nanti kena infeksi….” “Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.” “Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.” Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….” *** Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain. Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menangani...