Skip to main content

Cerita pengejar mimpi

Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang.


“Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka. 


Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak dua bulan lalu sedang pengeluaranku malah bertambah. Entah kesulitan apa yang dialami keluargaku sampai jatahku pun ikut dipotong. Aku tidak berani melayangkan surat keluhan. Jadinya, aku kebingungan sendiri di sini.


***

Seperti lagunya Franky S, hari ini terik seperti membakar tapak kakiku. Aku memandangi kakiku. Tapal sepatuku tampaknya mulai menipis. Tapi, sudahlah…aku tidak begitu memusingkannya. Masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting daripada membeli sepatu baru.


Aku memilih jalan kaki, walau di tengah terik begini. Jika naik becak atau ojek, setidaknya butuh tiga ribu-an. Aku tersenyum menertawai diri sendiri. Saking kerenya, untuk diri sendiri pun aku perhitungan banget.


Aku mempercepat langkahku. Dari jauh tampak temanku duduk di teras. Syukurlah dia ada di rumah. Perjalananku tidak sia-sia. Kurelakan menempuh jalan kaki sejauh ini ke rumahnya demi tugas dari dosen yang mesti diketik.


“Eh, …masuk,” tegurnya begitu aku tiba di depan pagar.


Aku tersenyum. Dalam hati, aku sibuk mencari kata yang pas. Aku merasa tidak enak, hampir tiap hari aku kesini untuk mengetik.


“Ada tugas lagi..?” Tanyanya akhirnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.


Asri mengajakku masuk ke kamarnya. Dengan ragu, kuikuti dari belakang. Ia lalu meninggalkanku setelah aku mulai sibuk di depan komputer.


“Mau minum?” Ia muncul lagi di depan pintu kamar. Kerongkonganku yang sejak tadi kering memaksaku mengangguk. Tak berapa lama, temanku itu  kembali dengan dua gelas minuman dinginnya.


Setelah ketikanku selesai, kami duduk di teras menikmati kue kecil bikinan mamanya. 


“Terima kasih, Tante,” senyumku malu-malu menjawab tawaran mamanya saat memintaku mencicipi kue.


Sementara temanku tampak tak peduli denganku yang masih malu-malu, dengan semangatnya menceritakan kesibukan barunya sebagai anggota multilevel marketing berikut janji-janji surga perusahannya itu sementara aku terdiam sibuk memikirkan cara mencari tambahan uang. Jika hanya bergantung dari kiriman orang tua rasanya tidak mungkin lagi.


“Menurutmu pekerjaan apa yang cocok buatku,” tanyaku memotong ceritanya.
“Tentu saja bukan MLM,” sambungku cepat sebelum dijawab. Ia sudah sering menawariku bergabung tapi berkali-kali kutolak. Bisnis seperti itu tidak cocok denganku. Aku tidak punya bakat merayu orang. Lagian, bisnis MLM butuh modal yang tidak sedikit.

Temanku itu pun mulai membeberkan segala jenis pekerjaan yang memungkinkan dilakukan sambil kuliah, mulai dari penjaga toko part time hingga jadi guru private. Dengan berbagai dalih, semua tak mengundang minatku. Jadi penjaga toko? Bagaimana dengan kuliahku? Aku takut pemilik toko nantinya menuntut waktu yang lebih banyak. Guru private? Yang benar saja.... Belajar untuk kuliahku saja, aku sudah kewalahan. Apalagi jika mesti mengajar anaknya orang. Kayaknya aku nggak bakalan sanggup memikul tanggung jawab sebesar itu.
Hingga menjelang sore saat bersiap pulang, pembicaraan kami tak menghasilkan satu kesimpulan untuk membantuku.


***

Deringan weker memaksaku bangun. Aku menyeret langkah menuju kamar mandi. Setelah mengambil air wudhu, kulirik weker yang menunjuk angka 6 dan 12. 


“Telat lagi…,” gumamku.


Sehabis sembahyang, aku terdiam lama di atas sajadah.


“H-minus dua...,” lagi-lagi aku bergumam. Aku berharap lusa kiriman uangku sudah ada


Biasanya di hari minggu pagi, anak-anak seisi rumah kost-an ini rame-rame jalan menikmati udara pagi. Tapi kali ini aku malas ikut. Semalaman begadang membuat seluruh badanku lemas. Aku kembali berbaring, setelah mengunci kamar.


Pikiranku menerawang. Kutatap langit-pangit kamar yang catnya mulai usang. Kuliah memang impianku saat masih di SMU dulu. Saat itu, tak terpikirkan kesulitan-kesulitan yang bakal aku hadapi seperti sekarang.


Pandanganku beralih pada sebarisan semut yang panjang menuju kaleng biskuit tempatku menyimpan beras. Aku segera bangkit meraih sapu yang bersandar di dekat pintu.
Aku tidak jadi membongkar barisan rapi itu. Mataku tertumbuk pada seekor semut kecil yang susah payah menyeret sebutir beras. Seekor yang lain menggigit ujung beras yang satunya. Mungkin bermaksud membantu atau merebut butir beras itu, entah. Semut kecil itu kemudian berhasil mengangkat sendiri butir beras yang dua kali ukuran tubuhnya.
Sesaat aku tertegun. Pandanganku mengikuti semut kecil itu hingga keluar kamar. Seekor lagi berhenti dan menggerakkan kaki depannya di hadapanku seolah berkata,”Apa kau tak punya kerjaan lain selain mengamati kami!” Aku tersenyum sendiri. Kuputuskan menghabiskan pagi ini dengan membersihkan kamar.


Menjelang siang, pekerjaanku selesai. Kuhapus peluh di dahiku dengan punggung tangan. Barisan semut itu sudah tidak ada lagi, tapi bayangan semut kecil tadi belum hilang dari pikiranku.
Dibandingkan denganku, semut memang tidak ada apa-apanya. Tapi semut kecil itu sudah mengalahkanku. Akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu dengan mengeluh dan mengeluh, tanpa melakukan apapun.


***

Aku setengah berlari mengejar langkah temanku yang tampak terburu-buru sambil memanggilnya


“Tugas kalkulus-mu sudah selesai?” tanyanya begitu aku tiba di sampingnya. Aku mengangguk.


Nyontek duluee....aku tidak sempat kerja. Kemarin mesti mengambil titipan barang dan mengantarkannya,” lanjutnya.


“Ini....” Aku menyerahkan beberapa lembar kertas tugasku yang kususun rapi semalam.
Aku prihatin dengan kesibukannya akhir-akhir ini. Tugas kuliahnya banyak terbengkalai demi mengejar pesanan.


“Kupikir waktumu terlalu banyak kau jatahkan untuk kegiatanmu di luar. Kalau begini terus, kuliahmu berantakan. Nanti kau bakal menyesal...,” ucapku menasehatinya saat istirahat.

Temanku itu hanya tersenyum menanggapiku. Seperti biasa, dengan diplomasinya ia berkilah,” Yaa...namanya juga usaha, butuh sedikit pengorbanan.”


“Lagian, aku bisa mengandalkanmu, kan?” senyumnya padaku.


Aku ikut tersenyum. Aku rasa ia menyindirku. Selama ini ia telah banyak memberiku saran untuk jalan keluar masalahku, tapi aku masih menimbang ini dan itu. Aku terlalu banyak pertimbangan sebelum memulai apapun.


Pembicaraan kami terpotong, seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Entah siapa, mungkin pelanggan baru.


“Aku ke sana dulu. Nanti temani aku menghadap dosen yaa...?”


“Untuk apa ?” tanyaku. Ia tak menjawab. Ia tampak serius berbicara dengan orang itu. 

Kemudia ia memberiku kode agar mengikuti langkah  ke kantor pak dosen yang memang cukup jauh. Sejak tadi temanku hanya diam, tidak menggubris pertanyaanku.


“Siang, Pak,” sapanya saat tiba di depan kantor.


“Siang,” balas pak dosen yang duduk di belakang meja, “Masuk!”

Aku mengikuti langkah temanku masuk.


“Begini pak..., bapak pernah bilang butuh seorang laboran lagi untuk membantu pegawai Lab di sini,” ucap temanku memulai.


Aku memandanginya. Ia mau jadi Laboran? Apa kesibukan di MLM-nya belum cukup. Ditambah dengan kerja di Lab...itu sama saja bunuh diri!

“Kamu bersedia? Tanya pak dosen setelah melepas kacamatanya dan menatap temanku.


“Bukan saya, Pak, tapi teman saya.” Asri menunjukku. Mataku membelalak ke arahnya, ia cuma nyengir. Sialan!


Kamu mau?” tanya pak dosen lagi, kali ini dengan memandangiku.


“Tapi....” Aku agak ragu. Jadwal kuliahku membayang.

“Dia mau koq, Pak,” potongnya.

“Saya ndak nanya kamu,” tegur pak dosen yang membuat temanku itu cengengesan.


Aku melirik temanku itu yang menatapku tajam.


“Saya...bersedia, Pak,” jawabku pasrah.


“Oke, tugasmu tidak sulit tapi juga tidak gampang. Kamu mesti berada di Lab sebelum praktikum mulai hingga praktikum benar-benar selesai,” jelasnya. Aku mengangguk.


“Besok kamu kesini untuk pengenalan alat-alat,” lanjutnya.


“Soal gaji...kita bicarakan besok...,” ujar pak dosen saat kami pamitan.


“Kau gila!” Aku meneriaki temanku saat berada di luar.


“Kau kira tugas seperti ini mudah!? Kenapa tidak tanya aku dulu....” Aku mencengkram lengannya.


“Dan kemudian kau akan memikirkannya seribu kali. Bagaimana jika begini dan begitu, dan pada akhirnya kau tidak akan mengambil kesempatan ini. Iya kan?”

 Aku terdiam dan melepas cengkramanku.


“Jangan dipikirkan lagi, ini kesempatan bagus....”


“Ya sudah...aku duluan,” ucapnya mempercepat langkah dan meninggalkanku. Dia tampak terburu-buru. 


Aku hanya diam.. Terbayang kesibukanku nanti melayani di Lab di sela waktu kuliahku. Entah apa aku bisa menjalaninya. 


Thanks!” teriakku kemudian. Dia melambaikan tangan tanpa menoleh.


Aku menghentikan langkah. Di depanku melintas seekor semut kecil dengan bawaannya. Aku tersenyum dan membiarkannya lewat.


“Aku juga bisa...,” ucapku. Beberapa orang menoleh dan memandang heran ke arahku.


Aku tersadar. Kulanjutkan langkah menuju kelas.

###

Comments

Popular posts from this blog

Luka

 “Jangan dikorek lukanya! Nanti tambah parah…,” tegur seorang ibu demi melihat anaknya sedang mengorek-ngorek lukanya sendiri pake jari. “ Emang kenapa, Bu?” Anak itu masih saja mengorek-ngorek lukanya, mulai tak tahan dengan rasa gatal yang ditimbulkan luka itu. “Nanti kena infeksi….” “Waktu sama dokter, luka saya juga dikorek-korek, Bu.” “Iya. Kan dokternya mau ngobatin. Dokternya pake obat, biar dikorek tidak akan infeksi.” Anak itu memandangi jari yang ia pakai mengorek lukanya. Ibunya melanjutkan,”Dokternya pake alat yang steril. Jari kamu nggak steril tuh…, tadi habis dipake makan apa? habis dipake megang apa? Belum dicuci lagi….” *** Aku mendengarkan percakapan ibu dan anak itu berlangsung di depanku. Mereka duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku tempat aku duduk. Aku terhenyak sejenak, seketika teringat pada luka yang lain, luka di tempat lain. Ibu itu benar. Jangan pernah coba-coba mengorek luka, jika kita tidak bisa dan tidak tahu cara menangani...