Hujan mulai turun rintik-rintik. Dingin dan rasa lapar bekerja sama
mendesakku mempercepat langkah menuju ke sebuah warung coto di pinggir
jalan. Aku memandang sekeliling sebelum masuk. Bangunan warungnya,
sangat sederhana, dari anyaman bambu. Di bagian depannya tergantung
sebuah spanduk panjang berwarna kuning, mungkin bekas spanduk sebuah
partai yang identik dengan warna itu, bertuliskan nama warungnya. Di
bawah tulisan nama warung, tertulis pula harga coto permangkuknya, “
HARGA RP.9.000, KETUPAT RP. 500” . Pada tiang depannya terselip karton
kecil bertuliskan “ADA”.
Aku melangkah masuk dan langsung memesan, “ Campur, Pak, tidak pake hati dan daging ya….”
Aku memilih duduk di meja dekat pintu dan dekat dapurnya. Supaya
pelayannya tidak usah repot-repot mengantar dan tentu saja supaya tidak
lama. Dari belakang kudengar seorang memesan yang membuatku tersenyum,“
Satu, Pak. Hati dan daging.”
Dua orang yang masuk kemudian, menarik perhatianku. Salah satunya adalah
bule. “Wah, kesasar nih bule,” pikirku. Teman si bule tadi, yang
sepertinya adalah guidenya, menerangkan banyak hal kepada si bule
termasuk makanan yang dipesannya.
“This is one of special food from here…Makassar, ” Kata si guide dan si bule pun manggut-manggut.
Mereka kemudian mengambil meja pas di depanku.Si guide meminta ijin ke
belakang pada si bule. Tinggallah si bule sendiri yang memandang ke
sekililing. Kemudian pandangannya tertuju pada perlengkapan makan yang
ada di depannya. Dua buah tempat bumbu yang, biasanya, berisi garam dan
sambal tumis, sepiring kecil irisan jeruk nipis, sepiring ketupat,
sebotol kecap, dan tabung plastik tempat tissu gulung. Semua
diperiksanya satu persatu. Ketika memegang tissu gulung yang dia
keluarkan dari tempatnya, tampaklah kebingungan di wajah si bule. Aku
berusaha menahan tawa ketika dia melihat ke arahku seolah minta
penjelasan. Keningnya yang berkerut-kerut mengocok perutku yang isinya
hanya udara saja. Pasti si bule ini heran, koq ada perlengkapan WC di
atas meja makan?
Tak lama pesananku pun datang disusul pesanan si bule yang masih
kebingungan. Dia masih menatapku seolah menunggu reaksiku terhadap
makanan yang baru datang. Aku mulai mencampur garam, kecap, dan memeras
jeruk nipis tanpa mencoba terlebih dahulu air cotoku. Kata seorang
teman, orang yang langsung mencampur bumbu makanan tanpa mencoba dulu
menunjukkan tipe orang yang tidak gampang percaya pada orang lain.
“Di mana-mana coto ya…rasanya hambar kalo’ belum dicampur bumbu,” sanggahku waktu itu.
Sepertinya si bule mengikuti semua yang kulakukan, termasuk ketika
menambahkan sambal tumis ke dalam coto. Dan ketika kutarik lembaran
tissu dari gulungannya, dia menatapku penasaran. Aku menarik tissu
pelan-pelan, sebenarnya aku ingin membuatnya lebih dramatis tapi kasihan
juga melihat muka si bule yang sangat penasaran lagian cotoku mulai
dingin, jadi kutarik cepat-cepat dan mulai mengelap tanganku yg kena
percikan air coto. Kuambil beberapa lembar lagi dan mengelap mulutku. Si
bule manggut-manggut, lebih serius daripada manggut-manggutnya kepada
guidenya tadi. Dia pun ikut menarik lembaran tissu dan mengelap
tangannya. Coba tadi tissunya kucelup di air coto lalu mengunyahnya,
kira-kira tuh bule ikutan gak ya?
Si guide kembali setelah makanan si bule tinggal setengah. Dia kembali
bercerita banyak hal kepada si bule, mengenai budaya Makassar,
makanannya, beberapa tempat wisata, dan lain-lainnya. Tapi dia lupa
menjelaskan ke si bule perihal tissu gulung yang ada di meja makan.
Setelah makanannya dan cerita si guide habis, mereka berdiri dan
meninggalkan meja menuju kasir. Sebelum melangkah ke pintu, si bule
berbalik ke arahku dan tersenyum.
“You’re welcome,” jawabku dalam hati.
Pandanganku tertuju pada jam di pergelangan tanganku. Jam dua siang. Pantas perutku mulai ribut. Aku meraih dompet dan menghitung isinya, meski aku tahu persis jumlahnya. Aku berfikir keras. Jumlah segini harus cukup hingga minggu depan. Soalnya, kiriman baru bisa kuterima minggu depan. Ngutang? Tidak mungkin! Anggaran untuk utang sudah lebih. Kalau nekat, bisa-bisa uang bulan depan habis hanya untuk bayar utang. “Bu, mi siramnya satu…,” pesanku. Akhirnya kuikuti juga keinginan perutku yang mulai merintih. Ibu yang menunggui warungnya yang ramai dikunjungi mahasiswa dengan cekatan meracik pesananku. Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga malam nanti. Kalau nanti malam, aku tidak terlalu khawatir. Aku bisa mengandalkan teman-teman di rumah kost-ku. Mereka tidak akan keberatan, jika sesekali aku ikut makan bersama mereka. Dua bulan terakhir ini aku kesulitan mengatur uang. Pasalnya, kiriman yang selalu kuterima tiap bulan dipotong sejak ...
Comments
Post a Comment