Hujan mulai turun rintik-rintik. Dingin dan rasa lapar bekerja sama mendesakku mempercepat langkah menuju ke sebuah warung coto di pinggir jalan. Aku memandang sekeliling sebelum masuk. Bangunan warungnya, sangat sederhana, dari anyaman bambu. Di bagian depannya tergantung sebuah spanduk panjang berwarna kuning, mungkin bekas spanduk sebuah partai yang identik dengan warna itu, bertuliskan nama warungnya. Di bawah tulisan nama warung, tertulis pula harga coto permangkuknya, “ HARGA RP.9.000, KETUPAT RP. 500” . Pada tiang depannya terselip karton kecil bertuliskan “ADA”. Aku melangkah masuk dan langsung memesan, “ Campur, Pak, tidak pake hati dan daging ya….” Aku memilih duduk di meja dekat pintu dan dekat dapurnya. Supaya pelayannya tidak usah repot-repot mengantar dan tentu saja supaya tidak lama. Dari belakang kudengar seorang memesan yang membuatku tersenyum,“ Satu, Pak. Hati dan daging.” Dua orang yang masuk kemudian, menarik perhatianku. Salah satunya adala...
Pahitnya diramu dari segelas air hangat dicampur bubuk kenyataan, tanpa susu, tanpa gula.